Setiap anak memiliki keunikan dan kecerdasan yang berbeda, Tuhan telah menciptakan itu semua agar manusia berbeda dan memiliki jalan kehidupan yang berwarna. Mendidik anak sering dikatakan orang gampang-gampang susah, susah karena anak sering tidak menuruti keinginan orang tua, bahkan anak ada yang melawan.
Menelusi jejak bagaimana cara mendidik anak yang baik, akhirnya Layar Baru menemukan Kisah bagaimana mendidik anak dengan menggali potensi yang ada, menggali bakat yang dimiliki dengan memolesnya bak mutiara.
Berikut ini adalah salah satu kisah cara mendidik anak yang kami maksudkan,
Teringat aku akan masa kecilnya yang kesepian
karena kami tinggal di sebuah rumah yang terletak di tengah kebun kosong
di ujung tanah yang menanjak. Tak punya tetangga, hingga anak ku hanya
bermain dengan belalang, kadal dan kucing. Tak ada teman seusia yang
bisa mengajaknya bermain setiap hari. Hanya saat-saat tertentu saja jika
kami berkunjung ke rumah sanak family barulah dia bisa bertemu dengan
saudara saudaranya. Maka sampai saat ini anakku agak sulit menjalin
hubungan social dengan orang baru, apalagi di lingkungan baru.
Masa kecilnya juga
sering sakit-sakitan. Pencernaannya kekurangan enzim hingga tidak bisa
menyerap lemak dan gula. Sudah berbagai terapi dan pengobatan kami coba,
sampai ke dokter super spesialis gastro entrologi Prof. Dr Suharyono.
Sekali konsultasi bisa memakan sepertiga gaji ayahnya. Tak heran anak
ini bertubuh kurus tinggi. Dengan segala kekurangan itu anakku tumbuh
dengan kepercayaan diri yang rendah.
Sebagai orang tua,
tentu semua menginginkan anaknya tumbuh sehat cerdas dan berprestasi.
Segala obsesi orang tua yang tak kesampaian kita sandangkan kepundak
anak. Siapa sih orang tua yang tak ingin anaknya cerdas, matematikanya
hebat, bahasa Inggrisnya mantap, tahfizh Qur’annya canggih. Tapi tolong…
lihat lagi dengan cermat, apakah anak kita mampu mengemban segala
obsesi dan harapan orang tuanya yang seabreg itu…? Tanpa kita pernah
bertanya dan mengamati, apa bakat dan hobinya?
Aku juga mengalami
hal ini. Aku sedih melihat nilai matematika anakku yang jeblok, nilai
bahasa Inggrisnya merah, nilai IPA nya ambrol. Tiap hari aku menemani
dan mengajarkan anakku pelajaran sekolah. Buku-buku pelajarannya aku
baca, aku ringkas, aku buat menjadi catatan-catatan kecil. Ku bacakan di
depan anakku sambil mengajaknya bermain. Hasilnya tidak terlalu
menggembirakan.
Tidak naik kelas
Kelas lima SD anakku terancam tidak naik ke kelas enam karena nilai
raportnya yang berangka merah lebih dari tiga mata pelajaran. Dalam
rapat guru untuk menentukan kenaikan kelas tiap siswa, yang dihadiri
oleh semua guru termasuk aku karena aku mengajar di sekolah tersebut,
aku lihat wali kelasnya tidak berusaha membelanya sedikitpun, tidak
adakah sisi positif dari anakku hingga bisa memberinya nilai lebih untuk
memberinya kesempatan merasakan duduk di kelas enam? Satu-satunya guru
yang membela anakku hanyalah guru agama. Dia mengatakan anakku berakhlak
baik, tidak ada catatan kenakalan sama-sekali. Namun pembelaan ini
tidak membawa hasil karena sang walikelas sudah tertutup hatinya untuk
anakku. Sang Wali kelas memutuskan anakku tidak naik kelas.
Yah… itu yang ku alami sendiri di depan mataku, aku berusaha obyektif
aku tak hendak membela anakku, aku tak bersuara dalam rapat itu, namun
hatiku bergemuruh .
Harus ada alternative lain untuk anakku, tinggal kelas bukan
satu-satunya jalan. Aku aku khawatir kepercayaan dirinya makin runtuh
jika anakku tak naik kelas. Apalagi prestasi adiknya berbanding terbalik
dengan dirinya.
Di sekolah yang sama adiknya jadi juara di kelasnya. Ku akui memang
beberapa mata pelajaran dia lemah, tetapi bukan berarti anakku tak punya
kelebihan, bukan berarti ia tak punya masa depan.
Akhirnya setelah berkonsultasi dengan keluarga aku
menghadap kepala sekolah, aku ceritakan kondisi anakku dengan
sedetilnya, sikap mindernya, tentang latar belakang masa kecilnya,
tentang beberapa potensinya.Alhamdulillah kepala sekolah memenuhi
harapanku. Jika dipaksakan anakku naik ke kelas enam, memang akan sangat
memberatkannya, karena harus banyak mengejar ketertinggalan, padahal di
SDIT dengan kurikulum yang padat dan waktu belajar full day, anakku
akan kelelahan. Tak sanggup lagi dia ikut les remedial, karena setiap
hari berangkat sebelum jam tujuh pagi dan pulang menjelang maghrib. Anak
usia SD menghabiskan waktu untuk sekolah lebih dari 10jam termasuk
jarak tempuh dari dan ke sekolah, melebihi orang dewasa bekerja yang
hanya 8 jam.
Harus ku akui, tidak semua anak cocok bersekolah di SDIT. Dari peristiwa ini aku mengambil pelajaran, anakku harus dikurangi bebannya. Jika dia sekolah di SD negeri, dia akan punya banyak waktu untuk les remedial karena waktu belajarnya hanya setengah hari, maka sore dia bisa les untuk mengejar pelajaran yang tertinggal. Kepala sekolah merekomendasikan anakku bisa naik ke kelas enam dengan syarat pindah ke sekolah Negeri.
Lulus tes masuk SMP Negeri
Di SD Negeri Alhamdulillah anakku bisa lulus dengan nilai cukup baik,
aku memintanya mencoba ikut tes masuk SMP Negeri sekedar untuk
mengetahui prestasi belajarnya jika dibanding anak lain dari berbagai
sekolah. Ternyata hasilnya baik. Dia diterima di SMP 17, namun tidak
kami ambil karena kami sudah memutuskan anakku masuk pesantren untuk
membekalinya dengan agama yang memadai. Kami telah memilih pesantren
yang tidak terlalu banyak muridnya agar tiap santri dapat terpantau
prestasi akademiknya dan mendapat perhatian secara individual dan
maksimal oleh guru-gurunya.
Di pesanten menjelang kelas tiga pada umumnya anak-anak mengalami stress,karena UN benar-benar menjadi momok yang menakutkan. Demikian pula dengan anakku, dia ingin pindah sekolah seperti dulu waktu kelas lima di SDIT pindah ke SD Negeri pada waktu kelas enam. Aku berkonsultasi dengan para guru, wali kelas, wali asrama, dan kepala sekolah. Wali kelas nya menyerahkan dua buku tulis penuh dengan gambar goresan tangan anakku yang mirip komik. Ni bu… siap terbit…” seloroh wali kelasnya. Rupanya disela-sela aktifitas pesantren dia menuangkan kreatifitasnya di atas buku tulis itu.
Sebenarnya aku sudah melihat bakat ini sejak di SD, namun karena aku
sibuk mengajarkan mata pelajaran yang tertinggal, maka bakat gambar ini
kurang tergali ditambah lagi rasa percaya diri anakku sangat rendah,
jadilah bakat itu hanya berkembang seadanya.
Aku melihat dan menemukan kecerdasan anakku. Dia harus dimasukkan ke
sekolah yang mengutamakan pengembangan skill menggambar, bukan saint ,
bukan hafalan. Ku bisikkan ke telinga anakku:
”Sayang… Ummi akan carikan sekolah yang tepat sesuai bakatmu,
walaupun harus di luar kota Balajarlah dengan tekun dan tenang untuk
persiapan UN, sesudah lulus SMP kamu akan bersekolah sesuai dengan
bakatmu, tidak ada lagi momok matematika yang menyeramkan, IPA yang
menyebalkan.”
Setelah pencarian selama enam bulan, akhirnya aku menemukan sekolah yang pas untuk anakku SMK ANIMASI di DEPOK.
Alhamdulillah dia sangat bersemangat. Perlahan lahan rasa kepercayaan dirinya mulai tumbuh. Terlebih saat kelas tiga dia terpilih mewakili sekolah umtuk ikut lomba uji kompetensi yang diadakan oleh Diknas se Kota Depok . Karyanya mengangkat tema tentang kesenjangan social antara si miskin dan si kaya di negeri ini, dalam bentuk gambar animasi. Hasil karyanya mendapat juara pertama. Alhamdulillah… kami sangat bersyukur dan bangga. Anakku yang saat kelas lima SD divonis tidak naik kelas oleh wali kelasnya, kini tampil mengharumkan nama sekolah, membanggakan wali kelas, para guru, kepala sekolah dan tentu saja aku… ibu kandungnya.
Wajahnya terpampang di Koran MONITOR DEPOK, wartawan sengaja datang
ke sekolahnya untuk mengapresiasi hasil karya dan prestasinya.
Atas prestasi tersebut dia mewakili kota Depok untuk lomba yang sama
di tingkat propinsi Jawa Barat. Di sini dia menggondol juara tiga.
Alhamdulillah dari prestasi ini dan fortofolio selama dia mengenyam
pendidikan di SMK Animasi, anakku bisa diterima magang bekerja di sebuah
perusahaan iklan. Bersamaan dengan itu, dia kuliah di BSI jurusan
ADVERTISING.
Selama magang dia
sering merasa frustasi karena hasil karyanya /gambarnya selalu dikritik
oleh atasannya. Aku terus memberinya semangat, ku katakan: “Bos mu itu
sangat baik,… Beliau sedang memberimu pelajaran berharga, mendidik
mentalmu agar tidak cepat puas dengan hasil karyamu, Beliau sedang
menggali potensimu dan mendulang mutiara yang terkubur di dalam dirimu.
Seraplah semua ilmu yang ada pada diri atasanmu, karena di sanalah
kampusmu yang sebenarnya. Kampus yang akan mencetakmu menjadi apa yang
kamu inginkan, yaitu menjadi seorang ANIMATOR handal.
Bekerja di Production Hause
Setelah tujuh bulan magang anakku diangkat menjadi
pegawai dan mendapatkan honor, namun itu ada imbal baliknya, dia harus
membayarnya dengan menghabiskan waktunya di kantor bekerja lebih giat
dan tekun bahkan sering harus begadang dan menginap di kantor.
Yah… anakku yang kutilang (kurus tinggi langsing) yang terseok- seok
masa SD-nya kini tampil percaya diri. Dia mulai menyusun mozaiknya
sendiri, menyempurnakan mozaik yang telah kususun bersama nya.
Dia berobsesi akan memiliki perusahaan periklanan yang dapat
memproduksi iklan berkarakter dan dapat membuka lapangan kerja bagi
teman-temannya.
Sekarang hampir tak ada waktu baginya untuk bermain dan berenang-senang seperti remaja seusianya.Kesibukan antara kerja dan kuliah menyebabkannya jarang pulang. Kadang aku baru bertemu dengannya setelah tiga hari.
Sambil berseloroh saya katakan kepadanya “Rumah pertamamu di kantor, karena tiap hari kamu kerja dan tidur di sana, rumah kedua di kampus karena 4-7 jam kamu belajar di sana dan rumah ketigamu di sini bersama umi, abi dan adik-adikmu karena hanya tiga hari sekali kamu singgahi.
“Dalam usia 18 tahun kamu sudah punya mimpi jadi pengusaha. Ummi bangga padamu”.
Aku
terus belajar untuk menjadi orang tua, dari seminar, buku, bertanya
kepada siapa saja terutama menggali dari orang yang lebih berpengalaman
menjadi orang tua. Karena tidak pernah ada sekolah /pendidikan dengan
jurusan yang menelurkan lulusannya dengan gelar “menjadi orang tua
teladan” .
Setiap penggalan kehidupan anak adalah bagian dari kepingan mozaik,
yang jika disusun dengan cermat akan menjadi lukisan yang indah. Setiap
orang tua berperan besar menentukan desain kepingan mozaik itu, demikian
juga lingkungan tempat dia dibesarkan. Maka kenalilah karakter dan
bakat anak –anak kita supaya kita bisa mengarahkan dan membimbingnya
menjadi mutiara –mutiara indah yang memancarkan kilau cahayanya.
Setiap anak adalah unik, biarkan dia menjadi dirinya sendiri. Allah
menganugerahkan berbagai kecerdasan dan bakat yang berbeda pada setiap
anak.
Menurut pakar pendidikan ada Sembilan kecerdasan, setiap anak memiliki
minimal lebih dari dua kecerdasan bahkan lebih . Tugas orang tualah
untuk menemukan aneka bakat dan kecerdasan itu untuk di asah , diarahkan
dan dibimbing supaya muncul dan berkembang memancarkan kilaunya.
Sebagian besar anak seusianya masih bingung .. kemana arah
cita-citanya? Akan jadi apa kelak? Bahkan dengan nilai UN yang tinggi
sekalipun, banyak anak yang gamang. Namun Hari ini aku menyaksikan
kemantapan anakku menyusun langkah masa depannya. Kariernya membentang
di depan mata. Dalam usia remaja dia sudah bisa mandiri. Kuliah dengan
biaya sendiri. Punya sepeda motor hasil keringat sendiri, punya laptop
untuk menunjang kreatifitasnya seharga Rp 11juta, hasil jerih payahnya.
Bahkan dia masih bisa bantu biaya sekolah adik-adiknya, bantu belanja
dapur ibunya.
Sekarang kepercayaan dirinya makin kuat, makin banyak relasi yang
bisa dibangun, makin banyak job yang dia dapat. Ada desain cover buku,
Lay out buku, Video Bumper untuk bahan presentasi perusahan, Profil
perusahaan dan lain-lain.
Padahal usia SD dia terancam tak naik kelas, penyakitan, minder,
pemalu. Hari ini dia jadi kebanggaan orang tuanya, kesayangan
adik-adiknya.
Ya Allah… sujud ku takkan cukup untuk mengungkap rasa syukurku.
Pelajaran/ Hikmah yang dapat dipetik:
1.Jangan Bunuh Mimpi Anak- Anak Kita
Sering kali anak berceloteh tentang mimpi/imajinasinya, lalu
kita orang dewasa di lingkungan anak tersebut ( bisa orang
tua/guru/teman)meremehkan cita-citanya.
Misalnya seorang anak bermimpi akan menjadi seorang direktur utama
sebuah hotel berbintang terkenal. Dia ceritakan mimpinya itu kepada
semua orang yang ditemuinya. Sayang tidak ada yang menanggapi dengan
positif ceritanya itu.
”Khayalanmu terlalu tinggi tidak berkaca pada diri sendiri” begitu biasanya orang berkomentar. Anak itu jadi putus asa karena orang-orang di sekitarnya telah membunuh mimpinya.
“Bersikaplah realistis! siapa dirimu? Dari mana asalmu?” ejek teman-teman nya. Anak itupun frustasi dan mengubur mimpinya.
(lepas SMA, kembali anak itu bertekad menyusun mimpinya, dari Mesir dia merantau ke Canada mengambil kuliah perhotelan sambil bekerja di restoran sebagai pencuci piring, setelah beberapa tahun melewati ujian dan cobaan, dia berhasil meraih mimpinya jadi direktur hotel bintang lima. Setelah sukses dia menuliskan pengalamannya dan menerbitkan bukunya yang juga sukses hingga diterjemahkan ke 5 bahasa. Dia pun sukses menjadi seorang motifator dunia. Dialah Ibrahim EL Fiki)
Tanpa sadar kita telah membunuh imajinasi anak, seharusnya kita
menanggapinya dengan positif, kita hargai mimpinya dengan membuka
wawasannya tentang hal-hal yang terkait dengan mimpinya itu. Karena itu
adalah bagian dari mozaik indah yang sedang disusunnya. Kita bantu
carikan sekolah/ pelatihan yang menunjang kearah tercapainya mimpi
tersebut, kita kawal dan dampingi saat dia menghadapi berbagai kendala
dan kesulitan, karena di situ kita sedang bersama-sama menyusun
mozaiknya. Sampai suatu jalan kesuksesan terbentang di hadapannya, saat
itulah dia menyempurnakan mozaiknya dan menunjukkan keindahannya kepada
dunia.
2. Setiap anak adalah Unik, kenali dan asah bakatnya
Jangan sama ratakan perlakuan kepada setiap anak. Karena mereka punya
kecenderungan dan bakat yang berbeda. Kadang bagi kita orang tua sering
merasa paling tahu tentang anak kita. Atau kita mengambil keputusan
untuk menyekolahkannya dengan sudut pandang orang tua. Bahkan
mengenyampingkan suara hati anak.
Anak juga jangan terlalu dibebani dengan segala obsesi dan cita-cita
orang tua yang belum kesampaian. Jangan terlalu dibebani dengan aneka
les tambahan, sehingga merengut waktu bermain anak.
Ada kisah nyata seorang ustazd memasukkan anaknya di pesantren tempat
dia dulu mengenyam pendidikan. Anak tersebut tidak mampu dan tidak mau
bersekolah di tempat tersebut. Namun suara anak ini tidak pernah
didengar sang ayah. Akhirnya anak tersebut protes dengan caranya
sendiri. Dia sering bolos sekolah , berusaha kabur dari pesantren dan
sebagainya. Akhirnya anak itu tidak menjadi seperti yang diharapkan
orang tuanya, juga tidak menjadi dirinya sendiri. Waktu terbuang
demikian lama, biaya terbuang demikian besar, anak itu jadi kuli panggul
di pasar.
3. Tidak semua anak cocok untuk bersekolah Full Day
Hanya anak yang punya kesehatan fisik dan kecerdasan akademis yang
mampu untuk masuk sekolah Full Day. Untuk anak tertentu yang sering
sakit-sakitan, prestasi akademiknya kurang memadai sebaiknya dimasukkan
ke sekolah yang tidak terlalu berat beban kurikulumnya.
Jangan karena alas an sekalian dengan kakak adiknya, biar mudah antar
jemputnya menyebabkan orang tua memasukkan semua anak ke sekolah yang
sama.
4. Kenali bakat dan kecenderungan anak
Ini sangat penting, karena akan menjadi titik awal perjalanan karier
dan kesuksesan mereka di masa depan. Jika anak memiliki kecerdasan
diatas rata-rata. Sering jadi juara kelas, itu sih harapan semua orang
tua dan seolah menjalani masa depan seperti jalan tol.
(Untuk para orang tua, mari kenali bakat anak kita dan susunlah
mozaik bersamanya, anak adalah mutiara yang terpendam gali dan asahlah
lah, agar mutiara itu memancarkan kilaunya
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/06/09/34709/temukan-mutiara-bakatnya-asahlah-hingga-berkilau-cahayanya/#ixzz2hg4SODpJ